Pages - Menu

Laman

Pages

Sabtu, 07 Juni 2014

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM

SEJARAH BERDIRINYA PESANTREN DI INDONESIA (PPBU)

 A. SEJARAH PESANTREN
        Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia, yaitu:[1]
       Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren .
       Pendapat yang kedua adalah, pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantern banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.

      Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Pesantren-pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudan menjadi pusat pusat penyiaran Islam seperti; Syamsu Huda di Jembrana (Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.

       Walaupun setiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada 5 prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama yaitu;
1.  Adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiai
2. Santri taat dan patuh kepada Kiainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh Kiai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4.  Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan
5.  Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat.

 B. PONDOK PESANTREN DAHULU
         Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.[2]
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya.

 C. SEJARAH PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM
       Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 Km sebelah utara kota Jombang. Pondok Peantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dengan sosio kultur religious agraris.
Sekitar tahun 1825 di sebuah Desa yang jauh dengan keramaian kota Jombang, tepatnya di sebelah utara kota Jombang, di Dusun Gedang kelurahan Tambakrejo, datanglah seorang yang ‘alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama Abdus Salam namun lebih dikenal dengan panggilan Mbah Shoicha (bentakan yang membuat orang gemetar) Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit).
Abdus Salam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Adurrohman (Jaka Tingkir).
         Kedatangan Abdus Salam di Desa ini semula masih merupakan hutan belantara, kurang lebih 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar dan kemudian dijadikan perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, mulailah ia membuat gubuk tempat ia berdakwah yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri dan tempat tinggal yang sederhana. Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe atau Telu, dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang dan jumlah bangunan yang hanya terdiri 3 lokal beserta mushollanya. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M, kondisi tersebut adalah cikal bakal PONDOK PESANTREN BAHRUL ULUM.
Sementara itu menurut versi yang lain istilah 3 (telu) adalah merupakan representasi dari Pondok Selawe atau Pondok Telu yang mengembangkan ilmu-ilmu Syari’at, Hakikat dan Kanuragan. Hal itu didasarkan pada manifestasi keilmuan Mbah Shoichah sendiri yang mencakup ketiganya.
Setelah Kyai Shoichah (Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa jawa) tampuk pimpinan pondok Selawe atau pondok telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri. Kedua menantunya tersebut adalah Kyai Ustman dan Kyai Sa’id. Dengan mendapat restu dari mertuanya Kyai Ustman dan Kyai Sa’id  menjadikan pondok menjadi dua cabang, hal ini dikarenakan jumlah santri yang semakin bertambah banyak. Kyai Ustman mengembangkan pondok di Dusun Gedang yang tidak jauh dari pesantren ayah mertuanya yaitu di sebelah timur sungai pondok pesantren, sedangkan Kyai Sa’id  mengembangkan pesantren di sebelah barat sungai.
Dalam penataan manajemen pendidikan pesantren yang diasuhnya, Kyai Ustman lebih berkonsentrasi mengajarkan ilmu-ilmu Thoriqot atau Tasawuf, sedangkan Kyai Sa’id mengajarkan ilmu-ilmu Syari’at.
     Tidak sampai disitu, Dari Kyai Utsman meneruskan perjuangan dari Mbah Shoichah, hingga banyak pondok yang di berdiri di tanah tambak beras. dari bidang ke pendidikan sendiri langsung di tangani langsung oleh Kyai Abdul Fattah, termasuk juga Kyai Abdul Wahab H. perannya dalam membangun dunia keislaman sangat besar, termasuk dalam membangun pondok pesantren Bahrul Ulum. putra putri beliau menunjukkan bahwa sepantasnya kita untuk meneruskan cita-cita dari sang leluhur. yang dulunya hanya mempunyai santri sebanyak 25, untuk sekarang sudah berkembang pesat dan jumlah santrinya pun juga sangat banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Jamhuri, Muhammad.1990.Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Tangerang: Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah.

Siregar, Suryadi. 1996. Pondok Pesantren Sebagai Model Pendidikan Tinggi. Bandung:  Kampus STMIK Bandung.
www.google.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar