Pages - Menu

Laman

Pages

Selasa, 03 Juni 2014

Berdikir Setelah Sholat berjamaah berdasarkan Perspektif Nahdlotul Ulama dan Muhamadiyah


Cerita ini berawal dari ketidaktahuan akan perbedaan-perbedaan yang sering terjadi pada setiap oraganisasi islam atau orang-orang biasa menyebunya dengat “ormas islam”,  perbedaan  yang dulu saya ketehui hanyalah dalam hal qunut saja dan yang saya pikirkan perbedaan itu tidak akan dibawa keranah tempat seperti masjid dan sebagainya.ternyata semua yang saya pikirkan itu salah. Masjid-masjid terkadang dimiliki oleh satu ormas munkin lebih enak dengar kata-kata masjid  ormas A sebut saja begitu, karena mereka menggunakan atau mengkuti cara yang secara keseluruhan mengikuti tata cara yang telah di tetapkan oleh ormas A tersebut, meskipun begitu mereka tidak melarang ormas B,C atau D untuk melakuka ibadah disana.
Suatu ketika saya dalam perjalanan menuju surabaya, adzan mulai memanggil saya untuk melakukan ibadah sholat ashar, karena saya muslim yang taat bisa dikatakan begitulah, saya berhenti mencari masjid dan melakukan ibadah sholat ashar disana. Namun setelah sholat berjama’ah di masjid itu semua orang disana diam tidak seperti biasanya masjid-masjid melakukan dzikir seperti dimasjid dekat rumah saya, saya melihat kanan dan kiri mereka sehabis sholat diam sebentar kemudian pulang begitu juga oleh sang imam, saya sempet bertanya dalam hati saya kenapa mereka tidak berdzikir, namun pikiran saya itu saya tepis dengan membuat asumsi bahwa mereka munkin berdzikir dengan tidak mengeraskan suara karena waktu ashar. Kemudian saya melanjutkan perjalanan saya, setelah menjelang magrib saya mencari masjid untuk melakukan ibadah sholat magrib dimasjid itu, seperti biasa mereka setelah sholat berjamaah melakukan dzikir. Saya masih bertanya dalam hati dimasjid disana tadi tidak melakukan dzikir tapi disini disini melakukan dzikir. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat saya resah, kemudian saya memutuskan untuk ketika pulang nanti saya akan kembali melakukan ibadah sholat magrib disana
Menuju perjalanan pulang, memang pas waktu yang saya perkirakan bahwa pada saat magrib saya berada pada masjid tersebut, tenyata sama seperti kemarin bahwa dimasjid itu orang-orang setelah sholat hanya diam.  Saya mencoba bertanya dengan imam setelah sholat, beliau menjawab bahwa” Nak disini semuanya mengikuti ormas A, kalau memang mas ingin ada dzikir bersuara keras coba mas nanti sholat isya’ di masjid sana”. Apa yang disarankan oleh pak yai tadi saya lakukan. Setelah melakukan sholat disana memang benar apa yang telah dikatakan oleh pak yai, tapi saya ingin bertanya pada imam tersebut beliau menjawab sama seperti yang dikatakan pada ormas A tadi.
Lagi-lagi saya berfikir kenapa terjadi perbedaan dalam dua ormas islam tadi, bukanya mereka juga islam tapi kenapa bisa berbeda, dan setelah itu saya baru tahu bahwa perbedaan itu tidak hanya dalam hal qunut tapi juga dalam dzikir setelah sholat berjama’ah.        
v Pendahuluan
Dalam pengalam yang telah saya alami diawal, bahwa pokok permasalahan  adalah tentang dzikir setelah melakukan ibadah sholat, yang mana dalam hal ini terkait dua buah organesasi yang selama ini sering sekali terjadi beberapa perbedaan tentang tata cara beribadahnya. Dua orgenesasi itu adalah NU (Nahdlotul  ulam’) dan MD (Muhamadiyah). Sebelum melakukan analisis pertama saya akan mengenalkan tentang siapa Muhamadiah dan Nahdlotul  Ulama’ itu agar nantinya tidak terjadi saling mengunggulkan dan merendahkan diantra keduanya.
v  Nahdlotul Ulam’ (NU)
Sejarah berdirinya  NU bermula dari keterbelakangan, baik secara mental maupun ekonomi ang di alami bangsa Indonesia akibat  penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi. Apa yang terjadi saat itu mengugah kaum  terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul pada tahun 1908 itu dinamakan dengan gerakan kebangkitan nasional. Kemudian berwal dari  pesantren maka kebangkitan nasional merespon apa yang telah dilakukan rakyat pesntren demi melawan kolonialisme dengan medirikan Nahdlotul Wathon (1916), kemudian pada tahun 1918 bedirilah taswirul afkar, kemudian didirikan nahdlotut tujjar.
Berawal dari sebuah peristiwa tentang asas tunggal wahabi dimekkah oleh raja saud yang akan menghancurkan semua peninggalan peradapan islam. Karena hal itu para rakyat pesatren yang selama ini membela keberagamaan, menolak tegas tentang pembatasan bermadzhab dan penghancuran peradapan islam, menyebabkan terjadinya kesepakatan untuk membuat orgenesasi yang dinamakan dengan Nahdlotul Ulama’ pada tanggal 31 januari 1926 yang di pimpin oleh K.H Hasyim Asya’ari.
NU menganut  faham  Ahli ssunnah Wal Jama’ah, sebuah pola piker yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasinalis) dengan ekstrim naqli (skriptualis), oleh karena itu sumber pemiikira NU tidak hanya bersumber dari Al-quran dan As-sunnah  namun juga ditambah dengan kemampuan rasio dan empiric., seperti Abu hasan Al-Asyari dan Abu Mansur Al-Maturidy dalam hal teologi,  dalam bidang fiqih mengikuti empat madzhab yakni imah Hanafi, syafi’I, Maliki, Hambali, sementara dalam bidang tasawuf menggunakan metode Imam Ghazaly dan Abu Junaid Al-baghdadyyang mengintergrasikan antara syariat dan tasawuf.
v  Muhamadiyah (MD)
Muhamadiyah didirikan oleh muhammad darwis yang lebih dikenal dengan K.H  Ahamad Dahlan di kampung kuaman Yogyakarta pada tanggal 8
 Dzulijjah 1330 H/ 18 November 1912.  Didirikanya Muhamadiyah oleh kyai Dahlan merupakan sebuah usaha pemurnian Islam dari hal-hal mistik.
Awal mula pendirian Muhamadiyah banyak sekali menolak namun seiring berjalanya waktu dan berkat kegigihan kyai Dahlan dalam memperjuangkannya akhirnya pada tahun 1913 memulai pembangunan sekolah-sekolah formal, dan setelah beberapa tahun berikutnya didirikanya A’isyiyah sebuah orgenesasi untuk kaum perempuan.
Banyak sekali pandangan keagamaan Muhmadiyah selah satunya adalah sebagai beriut :
Muhamadiyah dalam melakukan kiprahnya diberbagai bidang kehidupan untuk kemajuan uma, bangsa dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan paham keagamaan bahwa islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran ilahiyah harus didakwahkan sehingga menjadi rohmatan lil’alamin dimuka bumi ini. 
Yang pelu digaris bawahi sebelum menganilisis, bahwa orgenesasi Nahdlotul “ulama dan Muhamadiyah bukan lah orgenesasi yang bertentangan, melainkan hanya mengalami perbedaan dalam tata cara beribadahnya bukan perbedaan masalah keimanan dan keislamannya.
NU dan Muhamdiah bukanlah sebuah madzhab melainkan sebagi ormas , namun didalam kedua ormas diatas memiliki lembaga-lembaga dalam mengeluarkan fatwa-fatwa berkaitan dalam hukum-hukum fiqih atau hukum islam, yang mana dalam ormas NU dinamakan dengan Bahtsul masail dan dalam ormas muhamadiah dinamakan dengan llajnah tarjih. Yang mana terkadang dalam penggalian hukum dalam alquran dan hadits mengalami perbedaan dikarenakan cara pengambilan hukum (istimbth)fugoha satu dengan yang lainya terkadang mengalami perbedaan, pebedaan ini bukan dikarenakan satu dengan yang lainya bertentangan atau saling mengunngulkan namun karena alquran yang bersifat universal itulah yang mebuat mereka terlihat berbeda, akan tetapi perbedaan dalam hukum fiqih itu sangat bisa dimaklumi karena fiqih sendiri itu bersifat lunak dan tidak kaku.
v Analisis (dzikir setelah melakukan ibadah sholat)
Kata Dzikir munkin sudah tidak asing dikalangan umat islam, dzikir merupakan sebuah cara agar kita bisa lebih dekat dengan pencipta begitulah mudahnya kaum awam mendiskripsikanya, namun kaitanya dalam tata cara melakukan dzikir ternyata dikalangan ormas seperti Muhamadiah dan Nahdlotul Ulama mengalami sedikit pebedaan dalam tata caranya berikut keterangan jelasnya ;
1.        Muahamdiyah
Dzikir memang merupakan sebuah amaliyah shohihah, namun dalam pembahsan amaliyahstelah sholat berjama’ah dalam HPT (himpunan putusan tarjih muhamadiyah) terdapat keterangan bahwa setalah sholat berjamaah imam menghadap kearah ma’,um sisi kanan, salah satunya adalah hadist dari samarah yang aetinya sebgai berikut;
adalah nabi  Muhammad SAW, apabila telah selesai mengerjakansholat beliau menhadapkan wajah beliau kepada kita”
Selain itu, tarjih juga menyatakn agarsetelah selesai sholat berjamaah,supaya jamaah sholat duduk sebentar, dasarnya adalah hadits abu huroirah berikut;
sesungguhnya para malaikat memintakan rahmat untuk salah seorang dari kamu selama masih duduk ditempat sholatnya dan sebelum berhadats, para malaikat mendoakan , ya Allah, ampunilah dosanyadan kasihanilah ia’’
Mengenai dzikir dengan  suara keras setelah sholat, yang telah dikutiip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits berkaitan dengan dzikir dan doa, meskipun tidak semuanya.
Memang terdapat hadits dari ibnu Abbas yang menyatakan bahwa rasulullaah pernah melakukan dzikir dengan suara keras yaitu hadits yang artinya sebagai berikut;
dahulu kami mengetahui selesainya sholat pada masa nabi karena suara dzikiryang keras“
Namun hadits tersebut dianggab bertentangan dengan Al-Qur’an dan beberapa  hadits lainya.
Dalam surat Al-A’rof ayat 55 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut;
“Berdoalah kepada tuhanmu dengan berrendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima)dan (harapan dkabulkan), sesungguhnya rahmat Allahamat dekat kepada orang-oorang yang berbuat baik.”
Dalam surat Al-A’rof ayat 25, yang artinya sebagai berikut;
“dan sebutlah nama tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diridan rasa takut, dantidak menggoreskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Dalam hadits, rasulullahbersabda;
“wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik)kepada rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian menjaherkan bacaanya dengan menggangu sebagian yang lain.”
Dari  ayat Al-Qur’an dan hadist  tersebut diatas, Muhamadiyah berpendapat bahwa Allah memerintahkan kepada kaum musliminagar bardoa dan berdzikir dengan merendahkan diri dalam arti lain tidak mengeraskan suara.
2.      Nahdlotul Ulama.
Pembahasan dzikir dan tata caranya dikalangan warga nu terbagi  menjadi 3 bagian petama, dzikir dan syair sebelum sholat berjama’ah, kedua; dzikir dengan suara kelas  setelah sholat, ketiaga;  dzikir berjama’ah yang di selenggarakan secara khusus. Nmaun, karena unsur masalah dalam perkara yang saya lakukan terkait ikhtilaf adlah berkenaan tentang dizkir setelah sholat, maka saya akan ambil salah satu dari tiga bagian  diatas yakni dzikir dengan  suara keras setelah sholat.
Kita sebagai umat muslim sangat tahu bahwa salah satu tujuan  dzikir addalah untuk meraih ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah SWT. Untuk mencapai tujuan itu, tentulah dibutuhkan dzikir yang tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan membutuhkan kesugghaan hati dan dzikir pastilah dilakukan dengan khusuk. Untuk bisa berdzikir dengan khusu’ itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, mengutip sebuah penjelasan yang K.H  kholil Nafis bahwa cara untuk khusuk tiap orang memiliki cara yang berbeda-beda. Ada yang khusuk dengan cara duduk menghadap kiblat, mukin yang lain akan lebih khusu’ dengan cara berdiri atau berjalan,  dan ada pula yyang khusu’ jika berdzikir dengan mengeraskan suara keras atau  berdzikir dengan suara yang pelan bahkan terkadang tidak besuara.
Memang terdapat dalil –dalil yang menyuruh uat muslim untuk berdzikir dengan suara yaang lembut dan padda sisi lain terdapat pula dalil yang memperbolelkan dzikir dengan suara yang keras.  Meskipum terlihat sangat bertentangan antara hadist dan alquran, atau hadits dengan hadits. Sebenarnya tidak lah bertentangan karena masing –masing memiliki tenpatnya sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Dalil yang memperbolehkan dzikir dengan suara keras yakni;
Aku mengetahui dab mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melakukan sholat dan hendak meninggalkan masjid H.R Bukhari dan muslim)
Ibnu Adro’ juga pernah berkata: “pernah saya beerjalan bersama dengan rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki dimasjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai rasulullah munkin dia melakukan hal itu dalam keadaan riya’, rasulullah SAW menjawab; “tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan”
Mengenai hadits yang sekakan akan kontradiktif itu, imam nawawi dalam sebuah penjelasnya, sebagai berikut:
“Imam Nawawi mengkompromikan (Al-jami’u Wat Taufiq) antara hadits yang mmensunahkan mengeraskan suara dzikir dan hadits  yang mensunahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya akan ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang yang sholat atau orang yang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan  manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan  dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta mmenambah semangat” (Ruhul Bayan, jus III)
Pendapat imam  nawawi diatas  sejalan dengan yang ditulis imam Syafi’i dalam kitab al umm, bahwasanya tujuan nabi Muhammad SAW, mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukanya, dan jika amalan tersebut hanya untuk pengajaran biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.

Demikian penjabaran singkat  mengenai masalah dzikir setelah sholat. Jelas sudah bahwa sebenarnya antara satu ormas agama dengan ormas yang lain sebenarnya sama-sama beribadah dzikir namun hanya cara mereka saja yang berbeda.

Demikian analisis singkat mengenai ikhtilaf dalam masalah ibadah, kurang lebihnya saya selaku penulis artikel ini sangat berbahagia sekali jika artikel ini sangat bermanfaat bagi pembacanya, namun jika dalam penulisan artikel ini terdapat kesalahan saya menghaturkan maaf yang sebesar besarnya. Terima kasih   perspektif NU dan Muhamadiah tentang ibadah dzikir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar